MEMBANGUN JATI DIRI INTELEKTUAL PROGRESIF DI TENGAH APATISME
Oleh : Rheyzaurus Guevara
Dalam konteks sehari-hari, istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Namun dari segi marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas.
Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.
Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.
Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan :
Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.
Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.
Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan :
“…mahasiswa sebagai intelektual muda harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlangsungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi sampah masyarakat…”.
Sebagaimana yang juga disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, sebagai seorang intelektual maka sudah sepatutnya mahasiswa bersikap progresif. Progresif merupakan sikap yang tanggap, aktif, dan partisipatif dalam menyikapi setiap realitas disekitarnya (Prasetyo, 2007). Jadi, sikap yang harus ditanamkan oleh mahasiswa sekarang ini adalah sikap kritis progresif bukan apatis (tidak mau peduli) karena hal ini akan membawa mahasiswa menjawab tantangan kedepan menuju cita – cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.
Namun realitas yang terjadi sekarang ini, dimana semua sudah tersedia, laju informasi yang pesat serta beragam kemudahan teknologi lainnya semacam internet dan fasilitas lainnya ternyata justru semakin melemahkan daya kritis dan gerak progresif mahasiswa. Mahasiswa semakin manja dan bersikap apatis terhadap kehidupan sekitarnya. Situasi saat ini telah menanggalkan peran progresif kaum intelektual. Peran yang nyatanya ditelan oleh rendahnya kepedulian dan pengetahuan. Kepedulian tidak tertanam kuat karena watak kelas yang semakin memanjakan. Watak yang tidak tahan derita dan penuh dengan keinginan akan kemapanan. Cerminan tersebut nampak nyata dalam kehidupan kampus.
"Mahasiswa – mahasiswa yang gemar bersolek dan memperagakan teori tanpa kenal realitas. Malas dalam berdebat dan tidak punya gairah dalam berkarya.." (Hadiz, 2004).
Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Mahasiswa cenderung berpikiran sempit bahwa tugas seorang intelektual adalah belajar dengan tekun di bangku perkuliahan, melakukan beragam penelitian dan eksperimen ilmiah, dan melaksanakan kegiatan akademis lainnya guna menjadi paling cerdas dan lulus dari bangku perkuliahan secepat mungkin untuk memperoleh predikat cumlaude, mahasiswa berprestasi, mahasiswa teladan atau semacamnya. Kemudian, kenyataan akan realitas sosial hanya dituangkan kedalam grafik-grafik, didefinisikan secara umum, kemudian dipecahkan melalui prosedur yang rumit.
"...mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai..." (Pramoedya Ananta Toer).
Seorang intelektual harus memiliki sikap progresif. Tak ada intelektual yang pekerjaannya hanya duduk di belakang meja, apalagi jika hanya bergegas memburu kemapanan.
Seorang intelektual bukan perantara dari teori – teori abstrak untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam : tapi seorang yang mendasarkan pengetahuan dari fakta – fakta sosial yang ada di lingkungannya (Gramsci dalam Groz, 2005).
Oleh karena itu maka seorang intelektual harus terlibat aktif dengan lingkungannya, berperan serta dalam segala usaha untuk membangun dan merubah masyarakat sosialnya. Keunggulan seorang intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara, yang merupakan gerak luar dan sementara dari perasaan dan keinginan, namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap dan bukan semata – mata ahli pidato.
Dengan sikap progresifnya, mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda, harus dapat menjadi bagian dari organisasi sosial yang menyuarakan segala perubahan dan perbaikan sistem sosial atau bahkan menjadi organisator dari segala upaya perbaikan sistem dan pembangunan masyarakat sosialnya. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada lingkup yang paling kecil mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu bersikap progresif di lingkungannya sendiri, yakni lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Perwujudan sikap yang paling sederhana adalah dengan terlibat aktif didalam berbagai pergerakan organisasi kemahasiswaan dikampus, yang kehadirannya selama ini memberikan andil yang cukup besar bagi perjalanan intelektualitas mahasiswa.
Dengan kata lain, organisasi juga merupakan sarana pengembangan intelektualitas dan sekaligus kepekaan sosial mahasiswa terhadap kehidupan bermasyarakat.
Namun sebagaimana disampaikan sebelumnya, permasalahannya kembali lagi kepada sikap apatis yang semakin membudaya di kalangan mahasiswa. Golongan mahasiswa yang apatis dan enggan untuk memikirkan politik yang rumit adalah realitas yang harus dipecahkan.
Kecenderungan bersikap apatis dan tanpa sikap apapun juga dikarenakan keengganan untuk bisa berpikir dan bertindak dalam proses,
DIPERUNTUKKAN KEPADA YANG MENGAKU SEBAGAI MAHASISWA
*dari berbagai sumber
1 komentar:
mantapz..
mas, blh minta izin buat jd tema kegiatan saya?
Posting Komentar
Silahkan Meninggalkan Komentar...!!!