Pendidikan Gratis VS Kualitas Pendidikan Tindakan mengangkat ribuan guru bantu oleh pemda memang bisa menjadi jalan keluar dalam mengimbangi jumlah siswa sekolah, akan tetapi mutu dari guru kontrak seharusnya diperhatikan juga, kalau hanya berbekal ijazah sarjana/D-IV tanpa ada semacam pelatihan menjadi tenaga pengajar sebelumnya, maka segalanya akan menjadi nonsense, dan cita-cita pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan akan sia-sia.
Salah seorang warga Bunobogu mengatakan bahwa ia lebih baik menyekolahkan anaknya ke Jakarta, ia rela jauh-jauh mengirim anaknya untuk bersekolah karena ia tidak puas dengan kondisi sekolah di Buol yang SDM gurunya masih sangat rendah, dan bahwa percuma gratis tapi mutunya tidak ada.
Dalam salah satu media massa lokal online yang diposkan pada 1 desember 2010 diberitakan bahwa Sebanyak 147 tenaga guru kontrak daerah, terancam dipolisikan oleh Pemerintah Kabupaten Buol, menyusul adanya dugaan pemalsuan tandatangan pejabat oleh tenaga pendidik tersebut(*katanya dari sumber terpercaya). Apalagi ini? Ketika pemerintah menggembar-gemborkan peningkatan mutu pendidikan muncul masalah yang memalukan kalangan pendidikan seperti ini, sungguh tragis. Bagaimana akan terjalin hubungan berkualitas antara siswa dan guru kalau pada prosesnya sudah dihiasi kebohongan.
Tidak hanya itu saja pembelajaran moral dan budaya yang baik pada siswa masih sangat kurang, disitulah peran aktif guru dalam membina para siswanya diperlukan, bukan melulu dalam kelas tetapi juga diluar kelas seperti dalam kegiatan ekstrakulikuler. “Ya bagaimana bisa memaksimalkan kegiatan ekstrakulikuler, kalau dananya tidak ada? Mau memungut dari teman-teman siswa nanti disangka pungli”, keluh salah satu mantan pengurus OSIS SMA 2 Lipunoto. Sungguh sebuah ironi.
Mengenai masalah kualitas tidak sedikit kalangan akademisi yang menilai bahwa pendidikan gratis kemudian hanya bicara soal gratis tapi mutunya compang-camping. Menurut beberapa akademisi tersebut pemberlakuan pendidikan gratis pada prakteknya sedikit banyak mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Jangankan kesadaran untuk meningkatkan mutu pendidikan oleh praktisi pendidikan, malahan timbul kurang rasa harus sekolah oleh siswa, karena segalanya gratis. Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan dari guru sekolah gratisan kemudian mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi siswa sebab harus berpikir soal ”Kemakuran”. Yang lebih celakanya lagi jika ada guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik hanya sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka sekali lagi“jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Salah seorang warga Bunobogu mengatakan bahwa ia lebih baik menyekolahkan anaknya ke Jakarta, ia rela jauh-jauh mengirim anaknya untuk bersekolah karena ia tidak puas dengan kondisi sekolah di Buol yang SDM gurunya masih sangat rendah, dan bahwa percuma gratis tapi mutunya tidak ada.
Dalam salah satu media massa lokal online yang diposkan pada 1 desember 2010 diberitakan bahwa Sebanyak 147 tenaga guru kontrak daerah, terancam dipolisikan oleh Pemerintah Kabupaten Buol, menyusul adanya dugaan pemalsuan tandatangan pejabat oleh tenaga pendidik tersebut
Tidak hanya itu saja pembelajaran moral dan budaya yang baik pada siswa masih sangat kurang, disitulah peran aktif guru dalam membina para siswanya diperlukan, bukan melulu dalam kelas tetapi juga diluar kelas seperti dalam kegiatan ekstrakulikuler. “Ya bagaimana bisa memaksimalkan kegiatan ekstrakulikuler, kalau dananya tidak ada? Mau memungut dari teman-teman siswa nanti disangka pungli”, keluh salah satu mantan pengurus OSIS SMA 2 Lipunoto. Sungguh sebuah ironi.
Mengenai masalah kualitas tidak sedikit kalangan akademisi yang menilai bahwa pendidikan gratis kemudian hanya bicara soal gratis tapi mutunya compang-camping. Menurut beberapa akademisi tersebut pemberlakuan pendidikan gratis pada prakteknya sedikit banyak mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Jangankan kesadaran untuk meningkatkan mutu pendidikan oleh praktisi pendidikan, malahan timbul kurang rasa harus sekolah oleh siswa, karena segalanya gratis. Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan dari guru sekolah gratisan kemudian mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi siswa sebab harus berpikir soal ”Kemakuran”. Yang lebih celakanya lagi jika ada guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik hanya sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka sekali lagi
Program Pendidikan Gratis, Komitmen & kualitas SDM
Dalam menjalankan program pendidikan gratis tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, menurut pemda Buol bahwa dana pendidikan gratis untuk tingkat SD-SMP 70% didapatkan dari APBN (dana BOS), dan 30% dari APBD, sementara untuk tingkat SMA 100% ditanggung oleh daerah atau dari APBD. Anggaran yang sangat besar yang kemudian mengorbankan pembangunan dibidang lain. Pembangun infrastruktur daerah contohnya, jalan yang merupakan prioritas penting bagi pembangunan suatu daerah, sangat lamban progresnya di Buol. Padahal ini juga merupakan prasarana yang sangat penting untuk menunjang kenyamanan warga dalam melakukan aktivitasnya, termasuk aktivitas pendidikan.
Kabupaten Buol tidak sendiri sebagai pelaksana pendidikan gratis di Indonesia tetapi ada dibeberapa daerah lain seperti Sleman, Kudus, Demak, dan Bangka yang tentunya menjalankan program ini dengan indikator gratis, yang sesuai dengan kemapuan daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah Buol bisa berbangga karena bertepatan pada peringatan Hari Guru Nasional dan HUT Ke-65 PGRI 2 desember kemarin kepala daerah Buol bersama kepala-kepala daerah diatas ikut mendapat penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Pendidikan yang diberikan langsung oleh Presiden RI kepada kepala daerah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap peningkatan mutu pendidikan, khususnya peningkatan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan.
Dengan adanya pendidikan gratis ini memang membuka peluang bagi tersedianya SDM daerah yang menempuh pendidikan dasar, tetapi soal menjamin tercapainya SDM daerah yang memiliki kualitas yang baik, untuk siap ditempatkan diberbagai bidang-bidang pembangunan daerah dan bekerja secara professional, jika melihat perkembangannya sejauh ini hal tersebut masih jauh.
Tanpa bermaksud menggurui pihak pemerintah daerah, dengan melihat kondisi yang dipaparkan diatas, banyak hal mengenai kritikan bagi pemerintah, serta bentuk usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal pendidikan. Maka alangkah baiknya jika pemerintah mempertimbangkan kembali dua opsi berikut disamping pendidikan gratis. Pertama, sekolah murah, dan program beasiswa bagi siswa kurang mampu. Kedua, diadakannya kebijakan yang mampu memberikan subsidi kepada yang tidak mampu, artinya diberlakukan subsidi silang. Agar bisa tercapai keseimbangan dalam pembangunan diberbagai aspek di daerah, juga bisa lebih memicu para tenaga pendidik dan anak didik dalam menghasilkan SDM yang berkualitas bukan sekedar berkuantitas.
Dalam menjalankan program pendidikan gratis tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, menurut pemda Buol bahwa dana pendidikan gratis untuk tingkat SD-SMP 70% didapatkan dari APBN (dana BOS), dan 30% dari APBD, sementara untuk tingkat SMA 100% ditanggung oleh daerah atau dari APBD. Anggaran yang sangat besar yang kemudian mengorbankan pembangunan dibidang lain. Pembangun infrastruktur daerah contohnya, jalan yang merupakan prioritas penting bagi pembangunan suatu daerah, sangat lamban progresnya di Buol. Padahal ini juga merupakan prasarana yang sangat penting untuk menunjang kenyamanan warga dalam melakukan aktivitasnya, termasuk aktivitas pendidikan.
Kabupaten Buol tidak sendiri sebagai pelaksana pendidikan gratis di Indonesia tetapi ada dibeberapa daerah lain seperti Sleman, Kudus, Demak, dan Bangka yang tentunya menjalankan program ini dengan indikator gratis, yang sesuai dengan kemapuan daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah Buol bisa berbangga karena bertepatan pada peringatan Hari Guru Nasional dan HUT Ke-65 PGRI 2 desember kemarin kepala daerah Buol bersama kepala-kepala daerah diatas ikut mendapat penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Pendidikan yang diberikan langsung oleh Presiden RI kepada kepala daerah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap peningkatan mutu pendidikan, khususnya peningkatan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan.
Dengan adanya pendidikan gratis ini memang membuka peluang bagi tersedianya SDM daerah yang menempuh pendidikan dasar, tetapi soal menjamin tercapainya SDM daerah yang memiliki kualitas yang baik, untuk siap ditempatkan diberbagai bidang-bidang pembangunan daerah dan bekerja secara professional, jika melihat perkembangannya sejauh ini hal tersebut masih jauh.
Tanpa bermaksud menggurui pihak pemerintah daerah, dengan melihat kondisi yang dipaparkan diatas, banyak hal mengenai kritikan bagi pemerintah, serta bentuk usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal pendidikan. Maka alangkah baiknya jika pemerintah mempertimbangkan kembali dua opsi berikut disamping pendidikan gratis. Pertama, sekolah murah, dan program beasiswa bagi siswa kurang mampu. Kedua, diadakannya kebijakan yang mampu memberikan subsidi kepada yang tidak mampu, artinya diberlakukan subsidi silang. Agar bisa tercapai keseimbangan dalam pembangunan diberbagai aspek di daerah, juga bisa lebih memicu para tenaga pendidik dan anak didik dalam menghasilkan SDM yang berkualitas bukan sekedar berkuantitas.
Kita semua tentu berharap bahwa kita dapat menjalankan amanat Undang-Undang Dasar tapi Undang-Undang Dasar juga mengajarkan kita untuk bercermin dengan kemampuan kita sendiri agar kita lebih mendahulukan mutu yang baik daripada sekedar menjalankan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Meninggalkan Komentar...!!!