Senin, 21 Maret 2011

JEJAK LANGKAH

Setapak,
Kakiku tergerak maju ke depan..
Satu,
Dua,
Tapi terjatuh,,

Bangkitlah ia,,
Dengan gemetar, kuangkat lagi si kaki,
Satu,
Dua,
Dan dia terjatuh lagi..

Begitu terus kuulangi..
Lagi dan lagi..
Hanya jejak yang terekam permukaan di tanah..


*untuk kawan yang bersama mencari mimpi di kota ini

Taufik Ismail - Bila Kutitipkan

Bila kutitipkan..
Bila kutitipkan dukaku pada langit pastilah langit memanggil mendung
Bila kutitipkan resahku pada angin pastilah angin menyeru badai
Bila kutitipkan geramku pada laut pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung pastilah gunung meluapkan api

Tapi…
Akan kusimpan sendiri mendung dukaku dalam langit dadaku
Kusimpan sendiri badai resahku dalam angin desahku
Kusimpan sendiri gelombang geramku dalam laut fahamku
Kusimpan sendiri api dendamku dalam gunung resapku
Kusimpan sendiri…


_rheyzaurus_

Selasa, 01 Maret 2011

TAUFIK ISMAIL - KAU INI BAGAIMANA?

Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana?
Kau ini bagaimana??
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berfikir, aku berfikir kau tuduh aku kafir
Ku harus bagaimana??
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaan-mu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?

Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Hah.. Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?

Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung-jawab, kau sendiri terus berucap wallaahu’aalam bis saawab
Kau ini bagaimana?

Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?

Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?

Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?

Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang cari alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?

Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana atau aku yang harus bagaimana?

Sabtu, 22 Januari 2011

­­­MEMBANGUN JATI DIRI INTELEKTUAL PROGRESIF DI TENGAH APATISME

Oleh : Rheyzaurus Guevara

Dalam konteks sehari-hari, istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Namun dari segi marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas.


Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.



Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.

Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan :
“…mahasiswa sebagai intelektual muda harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlangsungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi sampah masyarakat…”.

Sebagaimana yang juga disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, sebagai seorang intelektual maka sudah sepatutnya mahasiswa bersikap progresif. Progresif merupakan sikap yang tanggap, aktif, dan partisipatif dalam menyikapi setiap realitas disekitarnya (Prasetyo, 2007). Jadi, sikap yang harus ditanamkan oleh mahasiswa sekarang ini adalah sikap kritis progresif bukan apatis (tidak mau peduli) karena hal ini akan membawa mahasiswa menjawab tantangan kedepan menuju cita – cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.

Namun realitas yang terjadi sekarang ini, dimana semua sudah tersedia, laju informasi yang pesat serta beragam kemudahan teknologi lainnya semacam internet dan fasilitas lainnya ternyata justru semakin melemahkan daya kritis dan gerak progresif mahasiswa. Mahasiswa semakin manja dan bersikap apatis terhadap kehidupan sekitarnya. Situasi saat ini telah menanggalkan peran progresif kaum intelektual. Peran yang nyatanya ditelan oleh rendahnya kepedulian dan pengetahuan. Kepedulian tidak tertanam kuat karena watak kelas yang semakin memanjakan. Watak yang tidak tahan derita dan penuh dengan keinginan akan kemapanan. Cerminan tersebut nampak nyata dalam kehidupan kampus. 
"Mahasiswa – mahasiswa yang gemar bersolek dan memperagakan teori tanpa kenal realitas. Malas dalam berdebat dan tidak punya gairah dalam berkarya.." (Hadiz, 2004).
Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Mahasiswa cenderung berpikiran sempit bahwa tugas seorang intelektual adalah belajar dengan tekun di bangku perkuliahan, melakukan beragam penelitian dan eksperimen ilmiah, dan melaksanakan kegiatan akademis lainnya guna menjadi paling cerdas dan lulus dari bangku perkuliahan secepat mungkin untuk memperoleh predikat cumlaude, mahasiswa berprestasi, mahasiswa teladan atau semacamnya. Kemudian, kenyataan akan realitas sosial hanya dituangkan kedalam grafik-grafik, didefinisikan secara umum, kemudian dipecahkan melalui prosedur yang rumit. 
"...mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai..." (Pramoedya Ananta Toer).

Seorang intelektual harus memiliki sikap progresif. Tak ada intelektual yang pekerjaannya hanya duduk di belakang meja, apalagi jika hanya bergegas memburu kemapanan. 
Seorang intelektual bukan perantara dari teori – teori abstrak untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam : tapi seorang yang mendasarkan pengetahuan dari fakta – fakta sosial yang ada di lingkungannya (Gramsci dalam Groz, 2005). 
Oleh karena itu maka seorang intelektual harus terlibat aktif dengan lingkungannya, berperan serta dalam segala usaha untuk membangun dan merubah masyarakat sosialnya. Keunggulan seorang intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara, yang merupakan gerak luar dan sementara dari perasaan dan keinginan, namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap dan bukan semata – mata ahli pidato. 

Dengan sikap progresifnya, mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda, harus dapat menjadi bagian dari organisasi sosial yang menyuarakan segala perubahan dan perbaikan sistem sosial atau bahkan menjadi organisator dari segala upaya perbaikan sistem dan pembangunan masyarakat sosialnya. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada lingkup yang paling kecil mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu bersikap progresif di lingkungannya sendiri, yakni lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Perwujudan sikap yang paling sederhana adalah dengan terlibat aktif didalam berbagai pergerakan organisasi kemahasiswaan dikampus, yang kehadirannya selama ini memberikan andil yang cukup besar bagi perjalanan intelektualitas mahasiswa. 

Dengan kata lain, organisasi juga merupakan sarana pengembangan intelektualitas dan sekaligus kepekaan sosial mahasiswa terhadap kehidupan bermasyarakat.

Namun sebagaimana disampaikan sebelumnya, permasalahannya kembali lagi kepada sikap apatis yang semakin membudaya di kalangan mahasiswa. Golongan mahasiswa yang apatis dan enggan untuk memikirkan politik yang rumit adalah realitas yang harus dipecahkan.

Kecenderungan bersikap apatis dan tanpa sikap apapun juga dikarenakan keengganan untuk bisa berpikir dan bertindak dalam proses, selalu orientasi hasil, sangat instant dan terkesan tidak mau tahu dengan proses padahal kalau berbicara politik adalah juga berbicara proses. Butuh idealisme, keihklasan dan yang terpenting adalah sikap tanpa pamrih karena ukurannya adalah moral, sedangkan gerakan moral membutuhkan durasi yang lumayan panjang dan harus dijalani dengan sabar. Untuk itulah diperlukan pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah kalangan mahasiswa lainnya untuk sama – sama bergerak dan mengembangkan progresifitas. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan sebuah usaha bersama untuk dapat membangun kembali jati diri mahasiswa sebagai insan progresif bukan sebagai insan intelektual apatis.(Rz/bm)


DIPERUNTUKKAN KEPADA YANG MENGAKU SEBAGAI MAHASISWA
 

*dari berbagai sumber

Selasa, 18 Januari 2011

Buol : Deskripsi Demografis, Sosial Budaya dan Etnik

Orang Buol berasal dalam satu rumpun yang dimulai sejarahnya pada pemerintahan Ndubu I sekitar tahun 1380. Kemudian pemerintahan Buol berkembang sampai saat ini sebagai salah satu Kabupaten pemekaran di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang RI nomor 51 tahun 1999, dengan pejabat Bupati Buol pertama adalah Ir. Abdul Karim Mbow. 
Etnik (Suku bangsa) Buol merupakan salah satu dari 12 etnik di Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam gambar kasarnya adalah sebagai berikut : 
  1. Etnik Kaili
  2. Etnik Kulavi
  3. Etnik Tomini yang bermukim di Kota Palu, Kab. Donggala dan Kab. Parimo
  4. Etnik Lore
  5. Etnik Pamona di Kab. Poso dan Kab. Tojo Una-Una
  6. Etnik Mori
  7. Etnik Bungku di Kab. Morowali
  8. Etnik Banggai
  9. Etnik Saluan
  10. Etnik Balantak di Kab. Banggai dan Kab. Banggai Kepulauan
  11. Etnik Tolitoli
  12. Etnik Buol di Kab. Buol dan Kab. Tolitoli

Keadaan Geografis
Kabupaten Buol terletak dalam 0,380 Lintang Utara – 1,200 Lintang Selatan dan 120,120 Bujur Timur – 122,090 Bujur Barat, dengan batas-batas sebagai berikut :
  • Sebelah Utara dengan Laut Sulawesi sekaligus berbatasan dengan Philipina
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Donggala
  • Sebelah Timur dengan Propinsi Gorontalo
  • Sebelah Barat dengan Kabupaten Tolitoli.
Luas Wilayah Kabupaten Buol 4.043.57 Km2 yang terdiri dari 9 wilayah Kecamatan, masing-masing adalah :
  1. Kecamatan Palele
  2. Kecamatan Gadung
  3. Kecamatan Bunobogu
  4. Kecamatan Bokat
  5. Kecamatan Bukal
  6. Kecamatan Momunu
  7. Kecamatan Tiloan
  8. Kecamatan Lipunoto
  9. Kecamatan Biau
Dalam kondisi di atas, pemanfaatan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai berikut :
  • Perkampungan seluas 1.649 Ha.
  • Persawahan seluas 4.834 Ha.
  • Tanaman Pangan lainnya seluas 3.259 Ha.
  • Perkebunan Tanah Kering seluas 24.072 Ha.
  • Alang alang seluas 6.758 Ha.
  • Hutan rawa lainnya seluas 363.785 Ha.
Topografi Kabupaten Buol berbukit yang pada ketinggian tertentu terbentang luas dataran yang masih mungkin untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan, antara lain terdapat di Kecamatan Momunu, Bunobogu dan Kecamatan Biau.
Berdasarkan data penduduk yang tercantum dalam buku Sekilas Kabupaten Buol, jumlah penduduk diperkirakan sebesar 100.478 Jiwa, terdiri dari 51.557 Laki-laki dan 42.101 Perempuan. Laju pertumbuhan penduduk rata-ratanya adalah 2,81 % pertahun.

Kondisi Sosial Budaya
Sejarah masa Buol dibagi dalam beberapa fase, yaitu Buol sebelum Penjajahan, Buol di zaman Penjajahan dan Buol setelah Kemerdekaan. Kabupaten Buol adalah salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang RI nomor : 51 tahun 1999.

Dari hasil penelitian, masyarakat di Kabupaten Buol berasal dalam satu rumpun dengan menggunakan bahasa sehari-hari adalah Bahasa Buol dengan memeluk agama yang mayoritas Islam.

Sedangkan hasil perolehan sumber data mengenai kepercayaan terhadap tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun, nampaknya masih tetap terjaga dan berjalan seiring dengan besarnya pengaruh agama yang dianut oleh masyarakat di Kabupaten Buol.

Menurut sumber Mohd. Thamrin Intam, BAE, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buol (2005) dilokasi penelitian, “sepanjang tradisi leluhur tidak bertabrakan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Buol, kenapa tidak dilestarikan sebagai suatu potensi seni budaya lokal yang nantinya dapat menarik minat pengujung untuk datang ke Buol”.

Sementara dalam bidang perekonomian, masyarakat dikabupaten ini merupakan masyarakat agraris, dimana sebagian besar perekonomiannya tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan. Disamping itu, ada pula masyarakat yang bermata pencaharian lain seperti pegawai, pedagang, tukang dan lain-lain.


Sumber : Subdin Budaya dan Kesenian.Disbudpar Sulawesi Tengah.2005