Sabtu, 22 Januari 2011

­­­MEMBANGUN JATI DIRI INTELEKTUAL PROGRESIF DI TENGAH APATISME

Oleh : Rheyzaurus Guevara

Dalam konteks sehari-hari, istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku. Namun dari segi marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas.


Berbicara mengenai universitas, maka tentunya akan berhubungan pula dengan mahasiswa sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam berbagai pembelajar, dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan rasionalitas maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak dalam menghadapi persoalan. Kemampuan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, memperkuat eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual.



Mahasiswa adalah kalangan terpandang dalam struktur pendidikan yang perannya sangat diperhitungkan oleh banyak kalangan. Hal ini sebenarnya modal yang sangat berharga yang harus dapat didayagunakan oleh mahasiswa sebagai wujud dari eksistensinya. Lalu permasalahan yang timbul sekarang adalah sikap seperti apa yang harus dikembangkan oleh mahasiswa ketika melihat realitas yang sedang berkembang, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kaitan dengan peran yang sedang diembannya sebagai seorang intelektual. Bila merujuk pada pengertian umum intelektual, maka dengan mudah ditemukan jawaban yang sederhana, yakni mahasiswa sebagai bagian dari komunitas intelektual harus membaca buku untuk memahami realitas sosial yang terjadi disekelilingnya. Namun, bila hanya sebatas itu peran yang dapat dilakukan oleh seorang intelektual, sungguh tiada berguna semua ilmu pengetahuan, kecerdasan, dan kemampuan yang dimilikinya. Pendefinisian intelektual sebatas kepada individu yang selalu memiliki keterkaitan dengan buku menyebabkan hilangnya peran-peran penting seorang intelektual dalam mendayagunakan kekmampuannya dalam keterlibatan aktif membangun lingkungannya.

Sebagai seorang intelektual, tugas dan prioritas seorang mahasiswa memang untuk belajar dalam lingkup akademik di perguruan tinggi. Namun posisi yang diemban oleh mahasiswa sebagai seorang intelektual muda tersebut, juga mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan untuk dapat turut berpartisipasi aktif dalam menggerakkan dan menggagas perubahan dalam dunia sosialnya (Prasetyo, jadilah intelektual progresif. 2007). Karena betapun juga mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, dan pada akhirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat Soe Hok Gie mengatakan :
“…mahasiswa sebagai intelektual muda harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlangsungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi sampah masyarakat…”.

Sebagaimana yang juga disepakati oleh banyak kalangan mahasiswa, sebagai seorang intelektual maka sudah sepatutnya mahasiswa bersikap progresif. Progresif merupakan sikap yang tanggap, aktif, dan partisipatif dalam menyikapi setiap realitas disekitarnya (Prasetyo, 2007). Jadi, sikap yang harus ditanamkan oleh mahasiswa sekarang ini adalah sikap kritis progresif bukan apatis (tidak mau peduli) karena hal ini akan membawa mahasiswa menjawab tantangan kedepan menuju cita – cita bangsa, mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.

Namun realitas yang terjadi sekarang ini, dimana semua sudah tersedia, laju informasi yang pesat serta beragam kemudahan teknologi lainnya semacam internet dan fasilitas lainnya ternyata justru semakin melemahkan daya kritis dan gerak progresif mahasiswa. Mahasiswa semakin manja dan bersikap apatis terhadap kehidupan sekitarnya. Situasi saat ini telah menanggalkan peran progresif kaum intelektual. Peran yang nyatanya ditelan oleh rendahnya kepedulian dan pengetahuan. Kepedulian tidak tertanam kuat karena watak kelas yang semakin memanjakan. Watak yang tidak tahan derita dan penuh dengan keinginan akan kemapanan. Cerminan tersebut nampak nyata dalam kehidupan kampus. 
"Mahasiswa – mahasiswa yang gemar bersolek dan memperagakan teori tanpa kenal realitas. Malas dalam berdebat dan tidak punya gairah dalam berkarya.." (Hadiz, 2004).
Budaya intelektual yang menumbuhkan ide – ide kritis baik itu dalam diskusi, tulisan ataupun organisasi semakin tidak menarik minat mahasiswa. Mahasiswa cenderung berpikiran sempit bahwa tugas seorang intelektual adalah belajar dengan tekun di bangku perkuliahan, melakukan beragam penelitian dan eksperimen ilmiah, dan melaksanakan kegiatan akademis lainnya guna menjadi paling cerdas dan lulus dari bangku perkuliahan secepat mungkin untuk memperoleh predikat cumlaude, mahasiswa berprestasi, mahasiswa teladan atau semacamnya. Kemudian, kenyataan akan realitas sosial hanya dituangkan kedalam grafik-grafik, didefinisikan secara umum, kemudian dipecahkan melalui prosedur yang rumit. 
"...mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai..." (Pramoedya Ananta Toer).

Seorang intelektual harus memiliki sikap progresif. Tak ada intelektual yang pekerjaannya hanya duduk di belakang meja, apalagi jika hanya bergegas memburu kemapanan. 
Seorang intelektual bukan perantara dari teori – teori abstrak untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam : tapi seorang yang mendasarkan pengetahuan dari fakta – fakta sosial yang ada di lingkungannya (Gramsci dalam Groz, 2005). 
Oleh karena itu maka seorang intelektual harus terlibat aktif dengan lingkungannya, berperan serta dalam segala usaha untuk membangun dan merubah masyarakat sosialnya. Keunggulan seorang intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara, yang merupakan gerak luar dan sementara dari perasaan dan keinginan, namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap dan bukan semata – mata ahli pidato. 

Dengan sikap progresifnya, mahasiswa sebagai kalangan intelektual muda, harus dapat menjadi bagian dari organisasi sosial yang menyuarakan segala perubahan dan perbaikan sistem sosial atau bahkan menjadi organisator dari segala upaya perbaikan sistem dan pembangunan masyarakat sosialnya. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada lingkup yang paling kecil mahasiswa sebagai kaum intelektual harus mampu bersikap progresif di lingkungannya sendiri, yakni lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Perwujudan sikap yang paling sederhana adalah dengan terlibat aktif didalam berbagai pergerakan organisasi kemahasiswaan dikampus, yang kehadirannya selama ini memberikan andil yang cukup besar bagi perjalanan intelektualitas mahasiswa. 

Dengan kata lain, organisasi juga merupakan sarana pengembangan intelektualitas dan sekaligus kepekaan sosial mahasiswa terhadap kehidupan bermasyarakat.

Namun sebagaimana disampaikan sebelumnya, permasalahannya kembali lagi kepada sikap apatis yang semakin membudaya di kalangan mahasiswa. Golongan mahasiswa yang apatis dan enggan untuk memikirkan politik yang rumit adalah realitas yang harus dipecahkan.

Kecenderungan bersikap apatis dan tanpa sikap apapun juga dikarenakan keengganan untuk bisa berpikir dan bertindak dalam proses, selalu orientasi hasil, sangat instant dan terkesan tidak mau tahu dengan proses padahal kalau berbicara politik adalah juga berbicara proses. Butuh idealisme, keihklasan dan yang terpenting adalah sikap tanpa pamrih karena ukurannya adalah moral, sedangkan gerakan moral membutuhkan durasi yang lumayan panjang dan harus dijalani dengan sabar. Untuk itulah diperlukan pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah kalangan mahasiswa lainnya untuk sama – sama bergerak dan mengembangkan progresifitas. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan sebuah usaha bersama untuk dapat membangun kembali jati diri mahasiswa sebagai insan progresif bukan sebagai insan intelektual apatis.(Rz/bm)


DIPERUNTUKKAN KEPADA YANG MENGAKU SEBAGAI MAHASISWA
 

*dari berbagai sumber

Selasa, 18 Januari 2011

Buol : Deskripsi Demografis, Sosial Budaya dan Etnik

Orang Buol berasal dalam satu rumpun yang dimulai sejarahnya pada pemerintahan Ndubu I sekitar tahun 1380. Kemudian pemerintahan Buol berkembang sampai saat ini sebagai salah satu Kabupaten pemekaran di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang RI nomor 51 tahun 1999, dengan pejabat Bupati Buol pertama adalah Ir. Abdul Karim Mbow. 
Etnik (Suku bangsa) Buol merupakan salah satu dari 12 etnik di Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam gambar kasarnya adalah sebagai berikut : 
  1. Etnik Kaili
  2. Etnik Kulavi
  3. Etnik Tomini yang bermukim di Kota Palu, Kab. Donggala dan Kab. Parimo
  4. Etnik Lore
  5. Etnik Pamona di Kab. Poso dan Kab. Tojo Una-Una
  6. Etnik Mori
  7. Etnik Bungku di Kab. Morowali
  8. Etnik Banggai
  9. Etnik Saluan
  10. Etnik Balantak di Kab. Banggai dan Kab. Banggai Kepulauan
  11. Etnik Tolitoli
  12. Etnik Buol di Kab. Buol dan Kab. Tolitoli

Keadaan Geografis
Kabupaten Buol terletak dalam 0,380 Lintang Utara – 1,200 Lintang Selatan dan 120,120 Bujur Timur – 122,090 Bujur Barat, dengan batas-batas sebagai berikut :
  • Sebelah Utara dengan Laut Sulawesi sekaligus berbatasan dengan Philipina
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Donggala
  • Sebelah Timur dengan Propinsi Gorontalo
  • Sebelah Barat dengan Kabupaten Tolitoli.
Luas Wilayah Kabupaten Buol 4.043.57 Km2 yang terdiri dari 9 wilayah Kecamatan, masing-masing adalah :
  1. Kecamatan Palele
  2. Kecamatan Gadung
  3. Kecamatan Bunobogu
  4. Kecamatan Bokat
  5. Kecamatan Bukal
  6. Kecamatan Momunu
  7. Kecamatan Tiloan
  8. Kecamatan Lipunoto
  9. Kecamatan Biau
Dalam kondisi di atas, pemanfaatan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai berikut :
  • Perkampungan seluas 1.649 Ha.
  • Persawahan seluas 4.834 Ha.
  • Tanaman Pangan lainnya seluas 3.259 Ha.
  • Perkebunan Tanah Kering seluas 24.072 Ha.
  • Alang alang seluas 6.758 Ha.
  • Hutan rawa lainnya seluas 363.785 Ha.
Topografi Kabupaten Buol berbukit yang pada ketinggian tertentu terbentang luas dataran yang masih mungkin untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan, antara lain terdapat di Kecamatan Momunu, Bunobogu dan Kecamatan Biau.
Berdasarkan data penduduk yang tercantum dalam buku Sekilas Kabupaten Buol, jumlah penduduk diperkirakan sebesar 100.478 Jiwa, terdiri dari 51.557 Laki-laki dan 42.101 Perempuan. Laju pertumbuhan penduduk rata-ratanya adalah 2,81 % pertahun.

Kondisi Sosial Budaya
Sejarah masa Buol dibagi dalam beberapa fase, yaitu Buol sebelum Penjajahan, Buol di zaman Penjajahan dan Buol setelah Kemerdekaan. Kabupaten Buol adalah salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang RI nomor : 51 tahun 1999.

Dari hasil penelitian, masyarakat di Kabupaten Buol berasal dalam satu rumpun dengan menggunakan bahasa sehari-hari adalah Bahasa Buol dengan memeluk agama yang mayoritas Islam.

Sedangkan hasil perolehan sumber data mengenai kepercayaan terhadap tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun, nampaknya masih tetap terjaga dan berjalan seiring dengan besarnya pengaruh agama yang dianut oleh masyarakat di Kabupaten Buol.

Menurut sumber Mohd. Thamrin Intam, BAE, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buol (2005) dilokasi penelitian, “sepanjang tradisi leluhur tidak bertabrakan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Buol, kenapa tidak dilestarikan sebagai suatu potensi seni budaya lokal yang nantinya dapat menarik minat pengujung untuk datang ke Buol”.

Sementara dalam bidang perekonomian, masyarakat dikabupaten ini merupakan masyarakat agraris, dimana sebagian besar perekonomiannya tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan. Disamping itu, ada pula masyarakat yang bermata pencaharian lain seperti pegawai, pedagang, tukang dan lain-lain.


Sumber : Subdin Budaya dan Kesenian.Disbudpar Sulawesi Tengah.2005

Kulrindang, Alat Musik Pukul di Etnik Buol Bagian II

Cara dan Jenis-Jenis Permainan


Seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, menurut sumber Maryam G. Mailili (2005) dilokasi penelitian, Kulrindang terdiri dari 2 kata yaitu “Tog” berarti “Dipukul” dan “Kulrindang” berarti “Kulintang”. Jadi “Tog Kulrindang” dalam bahasa Buol berarti “Dipukul Kulintang” atau dalam tulisan ini penyusun mengartikannya “Pukulan Kulintang” atau “Melodi Kulintang”.

Tog merupakan pukulan atau melodi dari alat musik Kulrindang untuk menghibur orang. Kulrindang dapat dimainkan oleh pria atau wanita yang terdiri dari 4 (empat) orang pemain, dengan fungsinya masing-masing :
  • 1 orang pemain Kulrindang (Kulintang)
  • 1 orang pemain Pamandi (Gong)
  • 2 orang pemain Gono-Gonong (Gendang).
Umumnya yang memainkan Kulrindang untuk kepentingan upacara adat adalah ibu-ibu dan bapak-bapak. Dalam sebuah upacara Perkawinan atau Penjemputan Tamu, alat musik Kulrindang ini dimainkan bersamaan dengan alat musik Rebana. Biasanya yang memainkan adalah anak-anak yang terdiri dari 5 sampai 10 orang.

Pada bagian ini akan digambarkan jenis-jenis Tog (melodi) yang terdiri dari 6 (enam) jenis. Pada dasarnya jenis-jenis Tog sangat bervariasi dan dimainkan sesuai dengan fungsinya dimasyarakat. Sebuah nama Tog dimainkan dengan fungsi untuk mengantar babakan penting dalam pelaksanaan Upacara Adat.

Berikut jenis-jenis Tog yang dimaksud :

     1. Tog Doka
         Melodi Kulrindang jenis ini dimainkan pada saat pengantin pria tiba dirumah pengantin   wanita yang dimainkan bersamaan dengan alat musik Rebana, sampai pada proses upacara perkawinan selesai. Fungsinya sebagai penghibur dan sarana komunikasi bahwa ketika orang atau sekelompok orang mendengar Tog Doka, maka ditempat itu ada Upacara Perkawinan. Selain itu, melodi jenis ini dimainkan pula dalam Upacara Penobatan Raja. Olehnya, masyarakat Buol menyebut Tog Doka sebagai ‘Tog Kebesaran’.

     2. Tog Lyanduang
      Jenis melodi Kulrindang ini dimainkan untuk Penjemputan Tamu kehormatan dan digelar ditempat dimana tamu itu akan dijemput. Oleh masyarakat Buol, Tog Lyanduang ini dikenal dengan musik Penjemputan Tamu kehormatan yang dimainkan bersamaan dengan alat musik Rebana.

      3. Tog Tubu-Tubu
      Melodi Kulrindang ini dimainkan untuk mengantar babakan-babakan penting dalam sebuah Musyawarah Adat (bahasa Buol: Bokid). Ia dimainkan pada saat dimulainya Musyawarah Adat, diputuskan dan ditutup. Fungsi Kulrindang disini oleh masyarakat dijadikan sebagai tanda persatuan dan kesatuan dalam musyawarah.

      4. Tog Solre
      Jenis melodi Kulrindang sebagai Pengobatan Tradisional dimainkan untuk mengiringi tahapan-tahapan yang hadir dalam proses penyembuhan. Tog Solre ini oleh masyarakat, dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit.

      5. Tog Manja
     Biasanya jenis melodi Kulrindang ini dimainkan dilapangan yang berfungsi untuk mengiringi permainan Pencak Silat (bahasa Buol: Manja). Ketika Tog Manja dimainkan, maka yang terlihat adalah sebuah pertunjukan Pencak Silat. Baik itu digelar dilapangan/halaman atau di panggung pertunjukan.

     6. Tog Nde-Ndeng
      Jenis melodi Kulrindang ini dimainkan untuk mengatar tahapan-tahapan penting yang hadir dalam Upacara Kematian, dimulai dari menaikkan bendera adat, memandikan, mekafankan sampai pada tahapan menguburkan. Apabila Tog Nde-Ndeng terdengar, maka ditempat itu ada proses Upacara Kematian. Melodi jenis ini berfungsi pula sebagai ‘melodi penghibur duka’.

Dengan melihat jenis-jenis melodi Kulrindang, maka jelaslah bahwa alat musik ini lebih berfungsi sebagai media komunikasi dilaksanakannnya sebuah Upacara Adat. Ketika mendengar jenis melodi yang dimainkan Kulrindang, maka akan diketahui jenis upacara adat apa yang sedang dilaksanakan. Untuk itu, masyarakat Buol lebih mengenal Kulrindang sebagai alat musik pukul, dengan jenis Melodi (Tog) yang dimainkannya, dibanding nama Alat Musik itu sendiri. Seperti Tog Kulrindang (Melodi Kulrindang).

Tangga Nada
Setelah melihat fungsi dan jenis-jenis berdasarkan Tog (melodi) yang dihasilkan oleh Kulrindang, maka bagian ini akan dinotasikan salah satu jenis melodi sebagai berikut :

Tog Nde-Ndeng
3/4, Sedang, Melodi Kematian

3 3 2 1 2 3 3 2 1 2 3 3 . 1
3 3 2 1 2 3 3 2 1 2 3 3 . 2
7 7 5 2 5 7 7 5 2 5 7 7 . 2
7 7 5 2 5 7 7 5 2 5 7 7 . 1
3 3 2 1 2 3 3 2 1 2 3 3 . 3
5 5 3 1 3 5 5 3 1 3 5 5 . 2
7 7 5 2 5 7 7 5 2 5 7 7 . 1
3 3 2 1 2 3 3 2 1 2 3 3 . 1


Sumber :

Pengarah
Liberty Pasaribu, SH. MSi.

Penyusun
Drs. Darwis Yakama
Denny Podung, S.Sos.
Ichsan Masyhuda, S.Sos.
Drs. Adrianus Lintang
Chairil Anwar, SE

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Penerbit :


Subdin Budaya dan Kesenian
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Sulawesi Tengah
Jl. Dewi Sartika No. 91, ( (0451) 453941, 453942
Palu - Sulawesi Tengah
Juni 2005

Tokoh : Ibu Muslimah, Cahaya Bagi Laskar Pelangi

Ibu Muslimah

Suatu pagi di tanah Belitong Timor pada pertengahan 1970-an, sepuluh anak yang berjuluk Laskar Pelangi ketakutan. Hujan turun amat deras dan petir menyambar-nyambar sementara ibu guru mereka belum juga datang. Andrea Hirata kecil dan sembilan temannya merapat di dinding papan agar terhindar dari semburan air hujan yang masuk lewat atap seng yang bolong menutupi sekolah reot bak gudang kopra itu. Mereka yakin ibu guru, Ibu Muslimah, pasti datang. Sebab, Ibu Mus (panggilan Ibu Muslimah) bukan tipe guru yang gampang bolos atau semangat mengajar mudah runtuh gara-gara hujan. Benar saja, Ibu Mus datang berpayung daun pisang.

Itulah sepenggal kisah Ibu Muslimah dalam perjalanan panjangnya mengawal 10 siswa “Aneh” yang dia juluki Laskar Pelangi. Serba minim dan memprihatinkan kondisi yang dialami Ibu Mus tiga dasawarsa lampau. Sementara perempuan seusianya sibuk bersolek dan bermain, Ibu Mus yang kala itu berumur 20 tahun justru mengajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantung, Belitong Timur yang tak menjamin kantong bisa tebal. Bagaimana tidak  mengajar di sekolah reot, mengurusi anak-anak miskin, gaji cuma 3.000 ribu rupiah perbulan yang kadang di bayar 1.300 ribu rupiah. Luar biasanya, semuanya dilakoni dengan ikhlas.
Beliau menyikapi kenyataan pahit ini secara positif. Hal itu tak menyebabkannya pasrah pada nasib, namun malah menjadi ”bahan bakar” demi mengejar ketertinggalan. Ibu Mus memompa semangat belajar murid dengan menampilkan sosok figur besar, seperti Soekarno dan Galileo. Dorongan kian efektif karena Laskar Pelangi juga punya motivasi diri akibat perlakukan diskriminasi, yaitu tak boleh sekolah di SD favorit PN Timah dan disekat oleh papan pembatas bertulis ”Dilarang masuk buat orang jang tida punja hak”. Ibu Mus tidak terlalu kesulitan mengarahkan mereka. Pasalnya, telah dibangun atmosfer spirit pendekatan belajar-mengajar Ibu Mus dan murid-muridnya, dan memanggil mereka dengan sebutan ”nak”, panggilan sayang dari kata ”anak”.

Para murid tiada merasa diperlakukan berbeda-beda. Ibu Mus membimbing dengan penuh kasih sayang, semua disemangati, sesuai kapasitas mental dan pikiran masing-masing. Tersedianya unsur guru yang mengajar dengan paradigma inklusi itu yang lebih sulit dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi ketimbang sekadar mengadakan komposisi kelas yang inklusi. Sebutlah tokoh Harun. Anak itu mempunyai kelainan mental, tapi Harun tetap merasa dihargai dan diperlakukan setara dengan temannya.

Dia perempuan sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota, hidup di tengah masyarakat yang terbelit kemiskinan, tapi sekarang ia menjadi tokoh idola banyak orang di kala mereka kehilangan pegangan.Pada intinya, kehadiran Ibu Muslimah kembali mengingatkan kepada kaum oemar bakri: guru adalah kunci keberhasilan siswa. Dan, Ibu Muslimah telah menyalakan alarm peringatan pada kita semua bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya mampu melahirkan kreativitas yang melampaui sekolah favorit yang mapan baik dari segi pengajarannya maupun fisik.

Harapannya, semoga di negeri ini hadir seribuan guru macam Ibu Muslimah yang getol meniupkan semangat pendidikan bagi anak didiknya meski terjepit dalam situasi kemiskinan.(icham/bm).

Ibu Muslimah Dan Laskar Pelangi-nya

Tokoh Ibu Muslimah Dalam Laskar Pelangi

POLITIKUS KEONG RACUN?

Dalam konteks ini, saya teringat lagu Keong Racun yang belakangan melambungkan nama Jojo dan Shinta di belantara musik Indonesia. Bukan genre dangdut dalam lagu itu yang mau kita bincangkan, melainkan pemakaian judul Keong Racun.. Mereka yang suka makanan air tahu betul mana keong yang bisa dimakan dan mana yang berbisa. Sebagaimana lagu-lagu pop umumnya di Tanah Air, 'keong racun' berpretensi mengumpat kebinalan naluri lelaki dan kebebalan perilaku cinta kaum adam. Itu tersurat dalam syair “dasar kau keong racun, baru kenal udah ngajak tidur. Ngomong gak sopan santun, kau anggap aku ayam kampong”. Sebagian pria baik mungkin protes karena terminologi keong racun terlalu sarkastis. Tapi, itulah faktanya di mata Shinta dan Jojo. Bahwa lelaki sering kali merendahkan perempuan, bahkan dalam UU Pornografi, No 44/2008, disudutkan sebagai sumber maksiat. Begitu juga dalam 66 perda bernuansa agama. Bahkan oleh sebagian pria, nikah siri yang suci dasarnya dijadikan alat legalisasi pelacuran.
Seperti sulit membedakan laki-laki keong racun dan keong baik, begitu juga kita sulit membedakan mana politikus keong racun dan mana politikus baik dalam kancah politik. Tapi yang jelas, politikus keong racun cenderung pragmatis, bahkan tak mengenal ideologi lain selain pragmatisme. Mereka menjual rakyat untuk suara dalam pemilu. Konstitusi ditabrak untuk harta dan kuasa. Sayangnya, sebagian dari mereka adalah politisi matang yang berpikir maju dan selalu dalam koridor demokrasi modern dan sebagian lagi adalah politisi musiman yang bergerak tak beraturan seperti lempeng karambol di ujung jari peronda malam yang mau menghilangkan dingin malam dan rasa cemasnya. Dalam kamus politik mereka, demokrasi hanya judul untuk membungkus kerakusan irasional yang mengorbankan bangsa dan Negara!!!
Oleh karena itu, berbicara perubahan dalam konteks ini adalah berbicara tentang bagaimana mengurangi, kalau tak bisa menghabisi, politikus keong racun agar negara ini bisa benar. Kepemimpinan yang kuat, atau sebagian ahli bilang negara yang kuat, adalah kondisi ideal yang bisa membatasi jumlah keong racun. Pendidikan politik untuk masyarakat juga langkah yang tepat untuk membasmi keong racun dimulai dari bilik suara dalam pemilu. Tanpa kesadaran politik, masyarakat tak bisa mandiri menilai calon pemimpin, malah negeri ini pun bisa menjadi sarang keong racun…!
            


Tulisan ini tidak bersifat provokatif tetapi hanya pendapat pribadi dari penulis. (BM/echa).

Senin, 17 Januari 2011

Kulrindang, Alat Musik Pukul di Etnik Buol


Pengertian dan Asal Usul
Kulrindang yang dikenal oleh masyarakat Buol sebagai salah satu alat musik pukul, saat ini sudah sangat sulit untuk menemukan data yang akurat dan tepat tentang asal usul dan kapan keberadaannya. Sebagai konsekuensi logis dari sebuah folklore, informan menyiratkan bahwa Kulrindang berarti Kulintang yang di etnik Kaili disebut Kakula (alat musik pukul).

Seperti halnya Kakula, Kulrindang awalnya digunakan sebagai alat pendukung dakwa ketika Islam masuk dan membawa serta alat musik yang terbuat dari tembaga/kuningan di wilayah Buol. Alat musik ini menyerupai Talempong dari Sumatera Barat, Bonang dari Jawa dan Kakula dari etnik Kaili Sulawesi Tengah.

Menurut sumber Maryam G. Mailili, Plh. Kasubdin Nilai Budaya dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buol (2005) dilokasi penelitian, alat musik Kulrindang terdiri dari 2 kata yaitu “Tog” berarti “Dipukul” dan “Kulrindang” berarti “Kulintang”. Jadi “Tog Kulrindang” itu dalam bahasa Buol berarti “Dipukul Kulintang” atau dalam tulisan ini diartikan “Pukulan Kulintang” atau lebih jelasnya lagi “Melodi Kulintang”.

Istilah penyebutan untuk alat musik ini, dalam bahasa Buol kerap digunakan pada kalimat yang dalam bahasa Indonesianya berarti memainkan alat musik Kulrindang dengan cara dipukul. Sehingga dalam konteks permainan Tog Nde-Ndeng (jenis melodi Kulrindang pada Upacara Kematian) dapat diartikan melodi menghibur orang yang sedang berduka.
 
Bentuk Fisik Kulrindang 
Kulrindang terbuat dari besi (bahasa Buol: Uwate) tembaga/kuningan berbentuk bulat yang pada bagian tengahnya muncul/cembung dan menempati wadah yang terbuat dari kayu, terdiri dari 6 (enam) buah nada dengan susunan : do, re, mi, sol, la, si (1 2 3 5 6 7). 
 
Kulrindang dilengkapi dengan :
  • Pamandi (Gong) 1 buah dengan nada C  
  • Gono-Gonong (Gendang) 2 buah berukuran sedang
Pada masyarakat Buol sekarang, Kulrindang masih berfungsi sebagai musik iringan dalam berbagai upacara adat. Alat musik ini belum dikembangkan fungsinya seperti halnya Kakula di etnik Kaili Sulawesi Tengah yang dijadikan sebagai musik iringan tari dan lagu-lagu daerah untuk kepentingan Seni Pertunjukan.

Untuk satu bentuk upacara adat, Kulrindang dimainkan dengan jenis melodi tertentu, sehingga dengan mendengar alunan melodinya, akan diketahui bahwa di tempat itu digelar sebuah upacara adat.

Fungsi Kulrindang  
Umumnya, alat musik tradisional hanya berfungsi sebagai alat musik penghibur diwaktu senggang. Berbeda halnya dengan Kulrindang, alat musik ini berfungsi hampir disetiap peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Buol. Fungsi-fungsi itu adalah :

1. Kulrindang dalam Upacara Perkawinan
Alat musik ini berfungsi untuk mengiringi tahapan-tahapan yang hadir dalam Upacara Perkawinan. Dimulai saat pengantin pria tiba dirumah pengantin wanita sampai pada proses upacara perkawinan selesai. Selain itu, Kulrindang disini berfungsi pula sebagai media komunikasi untuk menandakan digelar/ dilaksanakannya pesta perkawinan.
2. Kulrindang dalam Penobatan Raja
Alat musik ini berfungsi untuk mengiringi tahapan-tahapan yang hadir dalam Upacara Penobatan Raja (bahasa Buol: Tau Doka). Oleh masyarakat, jenis melodi yang dimainkan dalam upacara penobatan ini dan dalam upacara perkawinan diatas disebut Tog Kebesaran.
3. Kulrindang dalam Penjemputan Tamu
Alat musik ini berfungsi untuk Penjemputan Tamu kehormatan dan digelar ditempat dimana tamu itu akan dijemput. Oleh masyarakat, Kulrindang dalam fungsinya disini dikenal dengan musik Penjemputan Tamu kehormatan.
4. Kulrindang dalam Musyawarah Adat
Alat musik ini berfungsi dalam setiap tahapan Musyawarah Adat. Ia dimainkan pada saat musyawarah adat akan dimulai, diputuskan dan ditutup. Fungsi Kulrindang disini oleh masyarakat, dijadikan sebagai tanda persatuan dan kesatuan dalam musyawarah (bahasa Buol: Bokid).
5. Kulrindang dalam Pengobatan Tradisional
Kulrindang dalam fungsinya sebagai Pengobatan Tradisional dimainkan untuk mengiringi tahapan-tahapan penting yang hadir dalam proses penyembuhan. Jenis melodi yang dimainkan disini, oleh masyarakat dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit.
6. Kulrindang dalam Permainan Pencak Silat
Kulrindang disini berfungsi untuk mengiringi Permainan Pencak Silat (bahasa Buol: Manja) yang digelar dilapangan/halaman rumah atau dipanggung pertunjukan.
7. Kulrindang dalam Upacara Kematian
Fungsi Alat musik Kulrindang disini terbilang unik. Ia dimainkan tidak selayaknya alat musik lain yang berfungsi hiburan, sebagai ekspresi rasa kegembiraan. Kulrindang dimainkan untuk mengatar tahapan-tahapan penting yang hadir dalam Upacara Kematian, dimulai dari menaikkan bendera adat, memandikan, mekafankan sampai pada tahapan menguburkan.
 
Sampai deskripsi ini disusun, belum ditemukan fungsi Kulrindang sebagai alat musik pukul dikembangkan untuk kepentingan seni pertunjukan. Semisal Kulrindang dalam mengiringi tari-tarian dan musik daerah atau sebagai Ensambel Musik Kulrindang.

Saat ini, Kulrindang di masyarakat Buol semata-mata berfungsi untuk kepentingan upacara adat. Kalaupun ditemukan fungsi lainnya, ia dijadikan ‘hanya’ sebagai musik pengiring dalam sebuah hajatan/acara peresmian gedung kantor.
 
 
to be continued...

Nilai Kepemimpinan Masyarakat Buol

Sebagaimana komunitas masyarakat lainnya di muka Bumi, Suku Buol juga memiliki sistem kemasyarakatan yang dipenuhi nilai-nilai luhur. Nilai tersebut hingga kini masih terpelihara dengan tata kehidupan bermasyarakat.
Salah satu nilai yang diwariskan budaya Buol pada masyarakatnya, adalah nilai-nilai utama kepemimpinan. Sifat-sifat tersebut pada masa lampau menjadi syarat yang melekat pada seorang Madika (raja). Namun demikian, karena nilai-nilai tersebut bersifat universal, bukan berarti sifat tersebut hanya melekat pada seorang Madika semata. Dalam level kepemimpinan apapun, masyarakat Buol dapat menjadikan sifat utama itu sebagai pijakan dan dasar filosofis kepemimpinan.

SIFAT MADIKA
Secara khusus, seorang pemimpin dalam pandangan masyarakat Buol, paling tidak memiliki tiga sifat utama. Sebagaimana diungkapkan Madika Buol H. Mahmud Turungku dalam bukunya “Upacara Adat Tradisional Buol” terbitan Badan Pekerja Dewan Adat Kabupaten Buol, seorang Madika harus memiliki sifat Mokodolyo, Artinya seorang pemimpin atau Madika diharuskan memiliki kemampuan menempatkan diri sebagai suri tauladan dan menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Buol.
Jika ditarik lebih luas dalam konteks kepemimpinan masa kini, seorang pemimpin dalam level apapun dituntut hidup bersih, memiliki banyak kelebihan dan dapat dibanggakan seluruh masyarakat Buol.
Sifat kedua, Mokolyokopo, Seorang Madika atau pemimpin hendaknya mampu bergaul dengan masyarakatnya secara egaliter tanpa memandang status sosial. Dengan sifat seperti itu, seorang pemimpin hendaknya memiliki kemampuan membangun kehendak cipta, karya dan karsa masyarakatnya secara kolektif.
Seorang pemimpin tidak dibenarkan bertahta diatas menara gading kekuasaan. Dia harus turun kebawah, menyatu dengan masyarakatnya. Dengan cara seperti itu, seorang pemimpin diharapkan mampu menyelami perasaan, masalah dan kebutuhan masyarakatnya. Kemampuan menyelami perasaan, masalah dan kebutuhan masyarakat, akan membuat seorang pemimpin tampil sebagai problem solver, orang yang mampu mencari jalan keluar atas berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat.
Sifat ketiga seorang Madika atau pemimpin adalah Mokoapoto, Sifat ini berarti seorang pemimpin mesti mampu memberikan dorongan bagi masyarakatnya kreatif berkarya dalam berbagai dimensi kehidupan. Dengan sifat ini, seorang pemimpin tampil sebagai dinamisator yang mampu menggerakan masyarakatnya hidup dinamis dengan berbagai karya nyata.
Ketiga sifat itu terungkap dalam pembukaan acara pelantikan (Moposumbah) Madika yang diucapkan sesepuh adat (Tiombunoto) sebagai berikut :
“Pongindungogu tau tandanio, tilonoitalyu, tilomodipelo, tilomoboongo. Ato wonu konginoa kito moginggalyo Madikano Lripu. Taa pongindungogano taa botukano dungano sifat-sifatio Mokodolyo (Ing Ngarso Sung Tuladha), Mokolyokopo (Ing Madya Mangun Karso), Mokoapoto (Tut Wuri handayani)”. (Mahmud Turungku, 2005:10)
SYARAT MADIKA
Selain sifat utama diatas, masih ada syarat adat lainnya yang harus dipenuhi seorang Madika. Seperti diungkapkan Madika Mahmud Turungku dalam bukunya, ada empat syarat yang harus dipenuhi seorang Madika. Pertama, Madika diangkat dari garis keturunan Raja yang mangkat, sebagaimana telah dipersiapkan lebih dulu. Syarat ini secara khusus melekat pada seorang Madika pengganti. (Mahmud Turungku, 2005:4)
Dalam konteks kepemimpinan yang lebih luas, dapat ditarik nilai filosofis, untuk menjadi seorang pemimpin harus benar-benar mempersiapkan diri, jauh sebelum masa kepemimpinan. Menjadi seorang pemimpin, tidak serta merta muncul begitu saja, tanpa persiapan matang.
Kedua, ada empat syarat ada yang harus dipenuhi seorang Madika. 
  • Syarat pertama, Tau dulri-dulri bangsawanio, Artinya seorang Madika diangkat dari calon yang memiliki status kebangsawanan lebih tinggi. 
  • Syarat kedua, Tau dulri-dulri tutumolrio, atau orang tertua atau yang dituakan. Dituakan disini tidak dibatasi umur. Meski umur masih muda, jika ia dituakan maka syarat adat telah terpenuhi. 
  • Syarat ketiga dan keempat adalah Tau dulri-dulri totaunio dan Tau mopio gugutonio. Seorang Madika disyaratkan memiliki pengetahuan luas, termasuk bidang agama yang dianut sebagian besar masyarakat Buol dan memiliki budi pekerti luhur.
Syarat ketiga dan keempat ini, merupakan syarat kepemimpinan universal. Artinya, syarat seperti ini hendaknya juga diterapkan pada pemimpin masa kini, dalam level kepemimpinan apapun. Tanpa budi pekerti yang baik dan pengetahuan luas, bukan saja seorang pemimpin akan gagal, tapi juga tidak dapat dijadikan teladan sebagaimana sifat kepemimpinan seorang Madika, Mokodolyo.
Ditengah kehidupan masyarakat yang makin permisif (serba boleh dan tanpa batas) dan budaya korupsi yang makin demokratis, syarat kepemimpinan masyarakat buol sebagaimana diatas, sangat relevan untuk diterapkan. Hanya dengan budi pekerti baik dan pengetahuan yang luas, permisifisme dan budaya korupsi dapat dilawan.
Syarat pengetahuan yang luas, juga penting untuk memajukan kehidupan masyarakat. Syarat tersebut bermanfaat untuk membuat perencanaan, pengeloaan dan evaluasi pembangunan. Dengan pengetahuan yang luas, seorang pemimpin juga diharapkan mampu membaca kehendak jaman dan berbagai persoalan yang timbul di tengah masyarakat.


PEMERSATU WILAYAH
Seorang Madika juga memegang amanat memersatukan wilayah. Peran sebagai seorang pemersatu wilayah terungkap dalam acara Kuutono. Acara ini merupakan rangkaian acara penetapan seorang Madika Buol setelah Bokidu (musyawarah penetapan Madika oleh dewan adat) dan sebelum Moposumbah (acara pengambilan sumpah janji seorang Madika), dimana calon Madika dalam acara Kuutono, mempersiapkan diri dengan semedi (kontemplasi) selama satu malam, untuk merenungkan betapa berat tugas yang harus diemban. Calon Madika diberikan petuah oleh tokoh adat dan agama tentang tugas-tugasnya, selanjutnya diberikan kesempatan untuk bermunajat pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Esok harinya setelah melakukan semadi Calon Madika melakukan pembersihan diri secara lahiriah. Pembersihan diri dilakukan dengan mandi menggunakan air yang disimpan dalam Guungo (Gong Besar), yang telah diisi air dari tujuh sumber air yang terdapat pada wilayah adat berbeda. Adapun wilayah adat tersebut adalah Kecamatan Paleleh-Talaki, Bunobogu, Bokat-Lonu, Momunu-Pogogul, Lipunoto-Kumaligon, Gadung-Bolagidun dan Tiloan-Unggag Motanang (Air Terang). Air biasanya telah dipersiapkan tokoh adat dari ketujuh wilayah tersebut dan disimpan dalam ruas bambu.
Pengambilan air dari dari tujuh sumber air berbeda, mengartikan bahwa tempat pengambilan air sebagai satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Seorang Madika, tidak boleh membeda-bedakan wilayahnya. Nilai filosofis yang dapat ditarik dari hal ini, seorang pemimpin masa kini hendaknya tidak membeda-bedakan wilayah yang dipimpinnya. Dalam dunia pemerintahan, seorang pemimpin, tidak boleh membeda-bedakan kualitas dan kuantitas pembangunan wilayah. Atau secara sederhana, proses pembangunan harus berjalan secara adil dan merata bagi seluruh wilayah. Nilai lain yang dapat diambil, seorang pemimpin memiliki kewajiban mempertahankan wilayahnya, sekaligus mengayomi masyarakat yang bermukim di wilayah kekuasaannya.

BUDAYA RELIGIUS
Selain sifat dan syarat kepemimpinan sebagaimana diatas, seorang Madika Buol juga dituntut untuk mengamalkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam Kitabullah. Hal itu dikarenakan adat Buol dilandasi nilai-nilai agama sebagaimana semboyan yang cukup terkenal, “Adat bersendikan syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”. (Mahmud Turungku, 2005:1)
Dalam konsep kepemimpinan religius masyarakat Buol yang mayoritas beragama Islam, maka karakter dan sifat kepemimpinan Rasulullah SAW menjadi rujukan utama. Sifat kepemimpinan Rasulullah SAW yang ditransformasikan dalam kepemimpinan seorang Madika adalah sifat Tabligh, Siddiq, Amanah dan Fathonah.
Sifat yang melekat pada Madika Buol tersebut mengajarkan pada pemimpin masa kini, untuk menjadikan nilai-nilai religius sebagai pijakan dan dasar kepemimpinan. Tanpa nilai-nilai religius, kepemimpinan akan terjebak pada sikap materialisme dan mengejar kehidupan profan semata. Ajaran ini menyampaikan pesan luhur masyarakat buol, menumbuhkembangkan budaya religius pada siapapun, ketika memegang amanah kepemimpinan tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritual yang diajarkan agama. Karena kepemimpinan akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Tuhan. Kepemimpinan tidak sekadar dipertanggungjawabkan pada rakyat, bangsa dan negara. Sungguh sebuah nilai budaya yang sangat agung nan luhur.***


Pimpinan Majelis Adat Buol menyematkan selendang penghargaan sebagai warga kehormatan dengan gelar Tau Noto kepada Dahlan Iskan

Teks : http://mastemu.blogspot.com
Sumber : Upacara Adat Tradisional Buol, Karya H. Mahmud Turungku

Lanjutan : PROGRAM PENDIDIKAN GRATIS & KUALITAS SDM

Pendidikan Gratis VS Kualitas Pendidikan Tindakan mengangkat ribuan guru bantu oleh pemda memang bisa menjadi jalan keluar dalam mengimbangi jumlah siswa sekolah, akan tetapi mutu dari guru kontrak seharusnya diperhatikan juga, kalau hanya berbekal ijazah sarjana/D-IV tanpa ada semacam pelatihan menjadi tenaga pengajar sebelumnya, maka segalanya akan menjadi nonsense, dan cita-cita pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan akan sia-sia.

Salah seorang warga Bunobogu mengatakan bahwa ia lebih baik menyekolahkan anaknya ke Jakarta, ia rela jauh-jauh mengirim anaknya untuk bersekolah karena ia tidak puas dengan kondisi sekolah di Buol yang SDM gurunya masih sangat rendah, dan bahwa percuma gratis tapi mutunya tidak ada.

Dalam salah satu media massa lokal online yang diposkan pada 1 desember 2010 diberitakan bahwa Sebanyak 147 tenaga guru kontrak daerah, terancam dipolisikan oleh Pemerintah Kabupaten Buol, menyusul adanya dugaan pemalsuan tandatangan pejabat oleh tenaga pendidik tersebut (*katanya dari sumber terpercaya). Apalagi ini? Ketika pemerintah menggembar-gemborkan peningkatan mutu pendidikan muncul masalah yang memalukan kalangan pendidikan seperti ini, sungguh tragis. Bagaimana akan terjalin hubungan berkualitas antara siswa dan guru kalau pada prosesnya sudah dihiasi kebohongan.

Tidak hanya itu saja pembelajaran moral dan budaya yang baik pada siswa masih sangat kurang, disitulah peran aktif guru dalam membina para siswanya diperlukan, bukan melulu dalam kelas tetapi juga diluar kelas seperti dalam kegiatan ekstrakulikuler. “Ya bagaimana bisa memaksimalkan kegiatan ekstrakulikuler, kalau dananya tidak ada? Mau memungut dari teman-teman siswa nanti disangka pungli”, keluh salah satu mantan pengurus OSIS SMA 2 Lipunoto. Sungguh sebuah ironi.

Mengenai masalah kualitas tidak sedikit kalangan akademisi yang menilai bahwa pendidikan gratis kemudian hanya bicara soal gratis tapi mutunya compang-camping. Menurut beberapa akademisi tersebut pemberlakuan pendidikan gratis pada prakteknya sedikit banyak mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Jangankan kesadaran untuk meningkatkan mutu pendidikan oleh praktisi pendidikan, malahan timbul kurang rasa harus sekolah oleh siswa, karena segalanya gratis. Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan dari guru sekolah gratisan kemudian mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi siswa sebab harus berpikir soal ”Kemakuran”. Yang lebih celakanya lagi jika ada guru berpikiran : pelayanan pada peserta didik hanya sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka sekali lagi “jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
 
 
Program Pendidikan Gratis, Komitmen & kualitas SDM
Dalam menjalankan program pendidikan gratis tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, menurut pemda Buol bahwa dana pendidikan gratis untuk tingkat SD-SMP 70% didapatkan dari APBN (dana BOS), dan 30% dari APBD, sementara untuk tingkat SMA 100% ditanggung oleh daerah atau dari APBD. Anggaran yang sangat besar yang kemudian mengorbankan pembangunan dibidang lain. Pembangun infrastruktur daerah contohnya, jalan yang merupakan prioritas penting bagi pembangunan suatu daerah, sangat lamban progresnya di Buol. Padahal ini juga merupakan prasarana yang sangat penting untuk menunjang kenyamanan warga dalam melakukan aktivitasnya, termasuk aktivitas pendidikan.

Kabupaten Buol tidak sendiri sebagai pelaksana pendidikan gratis di Indonesia tetapi ada dibeberapa daerah lain seperti Sleman, Kudus, Demak, dan Bangka yang tentunya menjalankan program ini dengan indikator gratis, yang sesuai dengan kemapuan daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah Buol bisa berbangga karena bertepatan pada peringatan Hari Guru Nasional dan HUT Ke-65 PGRI 2 desember kemarin kepala daerah Buol bersama kepala-kepala daerah diatas ikut mendapat penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Pendidikan yang diberikan langsung oleh Presiden RI kepada kepala daerah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap peningkatan mutu pendidikan, khususnya peningkatan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan.

Dengan adanya pendidikan gratis ini memang membuka peluang bagi tersedianya SDM daerah yang menempuh pendidikan dasar, tetapi soal menjamin tercapainya SDM daerah yang memiliki kualitas yang baik, untuk siap ditempatkan diberbagai bidang-bidang pembangunan daerah dan bekerja secara professional, jika melihat perkembangannya sejauh ini hal tersebut masih jauh.

Tanpa bermaksud menggurui pihak pemerintah daerah, dengan melihat kondisi yang dipaparkan diatas, banyak hal mengenai kritikan bagi pemerintah, serta bentuk usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal pendidikan. Maka alangkah baiknya jika pemerintah mempertimbangkan kembali dua opsi berikut disamping pendidikan gratis. Pertama, sekolah murah, dan program beasiswa bagi siswa kurang mampu. Kedua, diadakannya kebijakan yang mampu memberikan subsidi kepada yang tidak mampu, artinya diberlakukan subsidi silang. Agar bisa tercapai keseimbangan dalam pembangunan diberbagai aspek di daerah, juga bisa lebih memicu para tenaga pendidik dan anak didik dalam menghasilkan SDM yang berkualitas bukan sekedar berkuantitas. 
 
Kita semua tentu berharap bahwa kita dapat menjalankan amanat Undang-Undang Dasar tapi Undang-Undang Dasar juga mengajarkan kita untuk bercermin dengan kemampuan kita sendiri agar kita lebih mendahulukan mutu yang baik daripada sekedar menjalankan.

Minggu, 16 Januari 2011

PROGRAM PENDIDIKAN GRATIS & KUALITAS SDM

JOGJA, 8 Desember 2010
Pendidikan gratis telah lama menjadi impian masyarakat Indonesia sejak negara ini merebut kemerdekaanya. Kini beberapa daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten telah menjalankan program pendidikan gratis demi tercapainya keadilan bagi seluruh warga masyarakat dalam memperoleh pendidikan dasar (wajib), yang juga merupakan amanat UUD 1945 pasal 32 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Salah satu daerah yang menjalankan program tersebut adalah Kabupaten Buol, dimana kebijakan pemerintah daerah (pemda) adalah pendidikan gratis untuk semua tingkat pendidikan dasar dari SD-SMA dan untuk semua lapisan masyarakat. Pemda Buol terbilang berani mencanangkan program ini

Pendidikan Gratis Dambaan Masyarakat
Tidak bisa dipungkiri bahwasannya tidak semua rakyat Indonesia dapat mengenyam manisnya pendidikan, karena banyak warga miskin yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tingginya angka kemiskinan di Indonesia Pada maret 2010 tercatat 13 persen.

Oleh karena itu ketika masyarakat dalam hal ini masyarakat Buol mendengar bahwa pemda Buol akan mencanangkan program pendidikan gratis dari tingkat SD-SMA dan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat kurang mampu menyambut hangat program tersebut.

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (disdikpora) kabupaten Buol yang diwakili oleh Mastar N. Ain selaku sekertaris disdikpora dalam wawancara via telephone dengan Benang Merah beberapa waktu lalu, mengaku bahwa program ini membuka peluang yang sangat besar bagi para orangtua yang dulunya tidak bisa menyekolahkan anaknya karena ketiadaaan biaya untuk bisa masuk sekolah, bahkan warga dari kabupaten lain yang juga memiliki masalah yang sama mencari jalan keluar dengan menyekolahkan anaknya ke Buol.

Hal tersebut tentu bak gayung bersambut, pemerintah menyajikan pendidikan gratis dan masyarakat mencicipinya. Pendidikan gratis ini telah berjalan selama hampir tiga tahun di Buol, masyarakat sepatutnya tidak hanya menjadi pendamba tetapi juga harus menjadi pengawal, dimana masyarakat khususnya orangtua siswa harus ikut berperan aktif dalam proses pendidikan anak. Setuju atau tidak, realitasnya pendidikan gratis tidak selamanya menjamin mutu yang baik bagi siswa, apalagi kalau melihat kondisi proses belajar-mengajar yang kurang efektif dan efisien disekolah-sekolah di Buol.

Pro Kontra Pendidikan Gratis
Bagi yang pro dengan program pendidikan gratis mengatakan bahwa ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan serta penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Tetapi tidak sedikit juga masyarakat Buol, mulai dari praktisi pendidikan hingga orangtua siswa merasa kurang puas dengan pendidikan gratis. Bahkan ada yang tidak setuju dengan program tersebut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya.

Pertama, ketidakpuasan sekaligus kekhawatiran dari pihak orangtua siswa dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. akan membuat anak mereka tidak nyaman saat belajar disekolah, yang juga berpengaruh pada mutu pendidikan si anak.

Kedua, terkait dengan point pertama mengenai sarana dan prasana yang tidak seimbang dengan jumlah siswa. Pendidikan gratis di Buol menyebabkan membludaknya jumlah siswa dengan ketidaksiapan ruang kelas yang cukup. Didasari oleh hal tersebut pihak sekolah yang tidak diperbolehkan membatasi siswa yang masuk kesekolahnya oleh pemda, menjadi kewalahan menampung para siswa tersebut. Sehingga penggunaan ruang kelas tidak lagi efisien, bahkan sampai diberlakukan sekolah sore untuk siswa-siswa yang tidak bisa belajar dipagi hari.

Ketiga, kesulitan untuk pemenuhan aplikasi belajar-mengajar dalam kelas oleh guru. Guru mengeluhkan susahnya untuk meminta siswa agar membeli modul atau buku pelajaran karena akan dianggap melakukan pungutan liar (pungli), sementara dana untuk itu diakui oleh salah seorang guru yang tidak ingin diketahui namanya, tidak ada. Bahkan untuk hal kecil seperti susahnya membeli spidol sebagai alat pendukung guru dalam proses mengajar. Hal tersebut dikarenakan indikator gratis yang telah ditentukan oleh pemda mencakup iuran komite/BP3. kebijakan diluncurkannya program ini menyamakan kemampuan materi antara orang tua murid yang mampu dan tidak mampu. Akibatnya, sekolah kekurangan sumber dana yang potensial.

Keempat, Masalah mutu tenaga pengajar yang masih rendah di Buol. Mengapa demikian? Pendidikan gratis di Buol menyebabkan membludaknya jumlah siswa sementra jumlah tenaga pengajar dihampir tiap sekolah terbilang minim. Pemerintah sendiri pada awal-awal pelaksanaan pendidikan gratis yaitu pada November 2008 mencari jalan keluar dengan mengangkat lebih dari seribu guru kontrak atau guru Bantu. Tetapi apakah hal tersebut bisa menjamin terjadinya proses belajar yang efektif dalam kelas? Tanpa menguji terlebih dahulu penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran kepada para guru kontrak tersebut. 


 to be continued....

BENANG MERAH On Air

Segala puji hanya milik Sang Maha Kuasa, yang telah memberikan berkah kepada kami semua sehingga dengan bangga kami dapat menerbitkan BENANG MERAH BLOGSPOT ini yang dimaksudkan sebagai wadah opini kami mahasiswa daerah yang berada di perantauan untuk dapat membantu membangun budaya demokrasi yang jujur dan adil serta pro terhadap rakyat.

Semoga dengan adanya blog ini, sebagai sebuah media online bertukar pemikiran dan pendapat agar dapat melahirkan ide-ide baru demi perkembangan daerah Buol tercinta. Dengan segala upaya yang ada, kami mencoba menyajikan yang terbaik bagi semuanya.

Dan kami juga sadar ditengah-tengah usaha ini, masih terdapat berbagai kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pembaca.

Terima Kasih,

BENANG MERAH